nominpoem

Di sepanjang jalan yang membentang, diluasnya samudera yang terkapar, di hamparan konstelasi bintang yang menghiasi langit malam, dan dibawah terangnya rembulan, Elio menyimpan lekat-lekat cita-citanya yang begitu besar untuk ia capai.

Aarav menatap sang adik tingkat yang sedang memejamkan matanya dengan nafas yang tenang dan teratur. Wajah yang terlihat lelah dan capek itu bisa Aarav lihat, seolah dengan satu kesimpulan mengatakan bahwa ada banyak sekali hal yang tidak Elio bagikan kepada siapapun dan dipendamnya sendiri. Dia sudah cukup lelah berjuang sendiri.

Deru nafas yang terdengar kencang dan sandaran punggungnya yang begitu nyaman dibangku kemudi seolah menggambarkan kehidupan Elio yang penuh tekanan tanpa henti. Sedari tadi sejak Elio meminta untuk mengehentikan mobil sejenak hingga ia terlelap, perasaan Aarav masih sama. Bukan iba, bukan kasian, bukan sendu, yang ia rasakan dan ia inginkan adalah, menjaga Elio dan membahagiakan Elio semampunya dengan dama.

Setelah cerita panjang Elio tentang bagaimana Bundanya merawatnya dengan penuh tekanan, bagaimana Bundanya hanya memikirkan masa depan hingga masa sekarang Elio dibutakan oleh beban— membuat Aarav tersadar, sesungguhnya tidak ada yang namanya “lebih baik”.

Sama saja, Aarav terkadang ingin seperti kakak dan adiknya yang diperhatikan, dia ingin pintar dan masuk les sana sini, disisi lain ada Elio yang ingin bebas sepertinya. Semua anak punya struggle masing-masing entah itu anak tunggal, anak pertama, anak kedua, ataupun anak ketiga dan seterusnya. Semua dituntut dengan porsinya masing-masing dari sudut pandang orang tua yang tentunya berbeda-beda.

Dengan pelan, Aarav memberanikan diri mengusap kepala Elio. Rambutnya yang halus dan licin itu sangat terasa ditelapak tangan Aarav, membutnya tidak ingin berhenti hingga berakhir dengan tangan nakal Aarav yang mengacak-acak rambut Elio. Walaupun setelahnya dia perbaiki lagi. Damai. Dia suka suasana ini, dengan musik Sunset Bird milik Yiruma yang terputar.

Tak lama tepat setelah musik itu berhenti dan tangan Aarav sudah turun dari kepala Elio, mata yang terpejam beberapa saat tadi kini terbuka pelan. Dia edarkan pandangannya yang masih sedikit buram itu keseluruh mobil Aarav hingga mendapati sosok yang dia cari sedang menatapnya dari samping dengan senyum yang hangat.

“udahan tidurnya?” Tanya Aarav. Dengan mata yang masih sayu, Elio mengangguk.

“mau pulang sekarang?” Tanya Aarav membuat Elio langsung terdasar dan mengecek layar ponselnya.

Sudah menunjukan pukul dua belas malam tentu saja dengan puluhan panggilan tidak terjawab dan pesan yang masuk dari Bundanya namun sengaja tidak ia hiraukan.

“sebentar Aa, gue mau ngomong” ucap Elio menahan tangan Aarav yang bahkan tidak bergerak sedari tadi.

Aarav yang melihat tingkah itu tersenyum, lalu memgangguk dan menghadapkan posisinya kearah Elio.

“Aa, tadi kan gue sudah cerita semua keluh kesah gue tentang Bunda dan bahkan lo liat sendiri tadi bagaimana bunda se-strict itu ke gue. Mungkin lo bertanya-tanya dan bahkan bukan cuma lo, teman-teman lo dan teman-teman gue juga pasti bertanya-tanya kenapa kita cuma bisa bertahan sehari waktu itu.

Jujur, gue sebenarnya nggak sanggup buat mutusin lo saat itu, sakit banget tapi gue harus. Lo inget kan, gue mutusin lo saat pas kapan? Ya, itu saat nilai raport gue turun, pas itu Bunda langsung marah besar, gue ranking 2 dan sebenarnya itu bukan salah, bukan salah siapa-siapa ranking gue turun, itu salah gue sendiri karena udah malas dan capek belajar-“

“Lio, calm down, pelan-pelan aja. Gue masih disini, masih mau dengar penjelasan lo entah sepanjang apa alasan lo”

Elio mengatur nafasnya lalu mengangguk. “Ya intinya gue dimarahin habis-habisan dan jam les gue nambah, waktu belajar gue nambah, bahkan Bunda rela nggak balik Singapura seminggu hanya buat mantau gue. Jadi malam itu juga gue mutusin lo, karena pikiran gue kacau, gue takut nggak ada waktu buat lo.”

Saat melihat bibir Elio yang sudah bergetar dan mata yang berkaca-kaca, Aarav tidak tahan untuk tidak memeluknya. Dibawanya tubuh mungil Elio kedalam tubuh besarnya dan mendekapnya erat-erat. Dia elusnya rambut halus Elio yang menjadi kesukaannya sekarang lalu Aarav memberanikan diri mengecup kepala Elio.

Lagi dan lagi, Elio tidak bisa menahan tangisnya. Bukan karena dia cengeng, karena dia tidak pernah mendapatkan pelukan sehangat ini. Dia tidak permah diperhatikan selembut ini. Dia tidak penah merasa dicintai setulus ini.

“Elio, I’m not going anywhere, I’m still here waiting for you, for years” Bisik Aarav dengan puk-pukan kecil dikepala Elio.

“Aa!” Elio berseru ketika manik matanya mengangkap sosok kakak tingkat yang sedari tadi dia tunggu didepan mobil Lexus putih.

Aarav yang menyadari presensi Elio lalu mempercepat langkahnya, masih dengan paper bag ditangannya yang bisa ditebak itu adalah makanan pesanan Elio tadi.

Tanpa basa-basi, tanpa malu, tanpa banyak pertimbangan, Aarav langsung memeluk tubuh Elio yang kini sudah mematung didepannya. Elio yang kaget kini merasa lebih tenang, dia tidak pernah merasakan pelukan sehangat ini sebelumnya saat dirinya down gara-gara Bundanya.

Sekarang Aarav bisa merasakan punggung Elio yang mulai bergetar. Laki-laki dibalik punggungnya yang kekar itu ternyata sedang berusaha untuk tidak menangis namun tidak bisa hingga akhirnya tangisnya pecah.

Aarav tidak berkutik, tidak juga melepaskan pelukannya. Dibawanya Elio lebih erat kedalam pelukannya, membiarkan Adik tingkatnya itu mengeluarkan segala kekesalan dan kekecewaan yg tidak bisa ia ungkapkan secara lisan, dia tumpahkan melalui air mata. Sang pemilik punggung kemudian mengelus pelan pundak Elio menyalurkan pesan sekedar menenangkan.

Tak lama setelah itu pelukan dilepas oleh Elio, matanya yang sembab itu dia tutupi dengan telapak tangannya karena malu. Tentu saja Aarav tidak bisa menahan senyumnya dan ingin sekali menyubit pipi Elio yang tembem itu.

“kenapa sih?” Tanya Aarav heran. Elio yang masih malu menampakkan wajah sembabnya itu hanya menggeleng membuat sang kakak tingkat tertawa kecil.

“ayo kita ngasih makanan ke satpam dulu” Ajak Aarav yang langsung megambil satu tangan Elio sampai akhirnya Aarav bisa melihat wajah Elio yang baru habis nangis. Aarav tidak berkomentar, hanya tersenyum tipis lalu menuntun arah ke tempat satpam yang dia lalui tadi. Setelah urusan selesai, mereka kembali dan masuk kedalam mobil Aarav.

***

“kita mau kemana Aa?” Tanya Elio saat mobil Aarav keluar mulai meninggalkan basemen dan melaju ke arah jalan yang tidak dia ketahui. Sejujurnya, Elio anaknya agak sulit menghafal jalan, maka dari itu dia lebih suka naik taksi atau diantar supir.

Aarav yang sibuk dengan kemudi dan fokus pandnagannya yang tadinya ke jalan sedikit dia alihkan hanya untuk menengok wajah penasaran Elio, lalu tersenyum kecil karena gemas dengan tingkah Elio.

“kemana aja yang lo suka” Kata Aarav tak lupa menjawab pertanyaan Elio.

“Gue nggak tau mau kemana deh”

Wanna go night drive sambil cerita-cerita?”

Elio menatap Aarav yang sibuk dengan kemudinya lalu mengangguk. Mungkin bagi Elio atau Aarav, ini adalah saat yang tepat bagi mereka untuk meluruskan masalah beberapa tahun lalu.

“Aa!” Elio berseru ketika manik matanya mengangkap sosok kakak tingkat yang sedari tadi dia tunggu didepan mobil Lexus putih.

Aarav yang menyadari presensi Elio lalu mempercepat langkahnya, masih dengan paper bag ditangannya yang bisa ditebak itu adalah makanan pesanan Elio tadi.

Tanpa basa-basi, tanpa malu, tanpa banyak pertimbangan, Aarav langsung memeluk tubuh Elio yang kini sudah mematung didepannya. Elio yang kaget kini merasa lebih tenang, dia tidak pernah merasakan pelukan sehangat ini sebelumnya saat dirinya down gara-gara Bundanya.

Sekarang Aarav bisa merasakan punggung Elio yang mulai bergetar. Laki-laki dibalik punggungnya yang kekar itu ternyata sedang berusaha untuk tidak menangis namun tidak bisa hingga akhirnya tangisnya pecah.

Aarav tidak berkutik, tidak juga melepaskan pelukannya. Dibawanya Elio lebih erat kedalam pelukannya, membiarkan Adik tingkatnya itu mengeluarkan segala kekesalan dan kekecewaan yg tidak bisa ia ungkapkan secara lisan, dia tumpahkan melalui air mata. Sang pemilik punggung kemudian mengelus pelan pundak Elio menyalurkan pesan sekedar menenangkan.

Tak lama setelah itu pelukan dilepas oleh Elio, matanya yang sembab itu dia tutupi dengan telapak tangannya karena malu. Tentu saja Aarav tidak bisa menahan senyumnya dan ingin sekali menyubit pipi Elio yang tembem itu.

“kenapa sih?” Tanya Aarav heran. Elio yang masih malu menampakkan wajah sembabnya itu hanya menggeleng membuat sang kakak tingkat tertawa kecil.

“ayo kita ngasih makanan ke satpam dulu” Ajak Aarav yang langsung megambil satu tangan Elio sampai akhirnya Aarav bisa melihat wajah Elio yang baru habis nangis. Aarav tidak berkomentar, hanya tersenyum tipis lalu menuntun arah ke tempat satpam yang dia lalui tadi. Setelah urusan selesai, mereka kembali dan masuk kedalam mobil Aarav.

***

“kita mau kemana Aa?” Tanya Elio saat mobil Aarav keluar mulai meninggalkan basemen dan melaju ke arah jalan yang tidak dia ketahui. Sejujurnya, Elio anaknya agak sulit menghafal jalan, maka dari itu dia lebih suka naik taksi atau diantar supir.

Aarav yang sibuk dengan kemudi dan fokus pandnagannya yang tadinya ke jalan sedikit dia alihkan hanya untuk menengok wajah penasaran Elio, lalu tersenyum kecil karena gemas dengan tingkah Elio.

“kemana aja yang lo suka” Kata Aarav tak lupa menjawab pertanyaan Elio.

“Gue nggak tau mau kemana deh”

Wanna go night drive sambil cerita-cerita?”

Elio menatap Aarav yang sibuk dengan kemudinya lalu mengangguk. Mungkin bagi Elio atau Aarav, ini adalah saat yang tepat bagi mereka untuk meluruskan masalah beberapa tahun lalu.

Malam itu Elio melangkahkan pijakannya ragu mendekati seseorang yang sudah tidak asing baginya, ya itu adalah ibunya yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu dengannya- yang dia rindukan dan dia takutkan.

Perasaanya tidak karuan membuat kepalanya menciptakan berbagai macam skenario sehingga membuat sang anak adam tersebut semakin ragu menemui pijakan selanjutnya. Saat manik cokelatnya bertemu dengan manik coklat turunannya, Elio menyambut senyuman hangat Bundanya yang dia balas dengan senyum hangat juga sambil sedikit demi sedikit menambah langkahnya.

Sang Bunda sudah melambaikan tangannya dan tak sabar memeluk dan menggapai surai anak semata wayangnya itu. Baying-bayang terpatri didepam Elio.

Dibelakang Bundanya, ada sepasang suami istri dan dua anak laki-laki yang dia tebak adalah anak dari suami istri yang merupakan teman dari Bundanya itu. Yang satu sudah terlihat lebih tua daei Elio dan yang satu lagi lebih muda dari Elio. Elio tebak mereka adalah orag-orang yang sudah siap dis banding-bandingkan dengan Elio lagi. Malang sekali pertemuan malam ini. Wahai rembulan, Elio ingin dijemput sebentar bertemu gemintang untuk merasakan indahnya malam ini, tidak ingin menghadapi luka yang sebentar lagi bertumpu dalam dirinya.

“Ini anakku, Elio” Bundanya membawa Elio kedalam dekapannya, dengan nada bangga mengenalkan kepada temannya dan orang-orang sekitar.

“Halo tante, om, Elio” Elio mengulurkan tangannya sopan lalu bersalaman menyapa ramah kerabat Bundanya.

“Elio kenalin ini anak tante, yang tua ini namanya Abian dan yang kecil ini namanya Aciel”

“Halo kak Abian, halo Aciel” Elio masih bersikap ramah dan sopan melambai kecil kearah mereka. Kedua yang disapa Elio tersenyum lalu melambai kecil juga.

Obrolan mereka terhenti saat makanan semua sudah siap dihidangkan dan mereka kembali ke tempat duduk dengan menyantap makan malam. Sesuai dugaan, makan malam itu tidak khidmat kalau mereka tidak saling pamer prestasi.

“Abian ini waktu seumuran Elio sudah ikut banyak olimpiade dan juga debat dikampusnya dan dibanggakan kampus” Sahut Ibu Abian.

“Oh ya? Kamu harus belajar banyak dari Abian, Tanya-tanya tuh info-info lomba. Udah tukeran kontak belum?”

“Tukeran kontak nanti aja Bunda, makan dulu” Sahut Elio.

Makan malam itu berjalan dengan lancar dan sesuai ekspektasi Elio, ya tentu saja dirinya habis dibabat dengan segala prestasi Abian dan bahkan Aciel.

“Anak kamu ini cuma berdua? Bukannya ada satu lagi?” Tanya Bunda kepada kerabatnya Itu.

“Iya satu lagi tapi katanya anaknya sibuk. Anak itu juga tidak banyak prestasi, yang dia pikirin cuma organisasi aja, tidak ada yang bisa dibanggakan”

“Ibu..” Tenyata Abian masih punya hati, masih menegur Ibunya yang menurut Elio jahat ini.

“Anaknya kok gak diajak?” Tanya Bunda lagi.

“Datang tapi katanya telat. Haduh, malu-maluin aja kan?” “Enggak kok tante, kan semua orang punya urusan masing-masing” Sahut Elio karena sudah geram.

“Urusan apa, dia kerjaannya main terus” Sahut suaminya. Elio hanya bisa geleng-geleng kepala dengan keluarga ini.

Tidak bisa Elio bayangkan jika dia tinggal bersama keluarga ini. Dia bersyukur setidaknya Bundanya sedikit lebih baik.

“Selamat malam, maaf terlambat”

Elio langsung menengok saat mendengar suara itu. Suara yang tidak asing baginya. Lantas matanya terbelalak mendapati sosok pria yang sangat dia kenali.

“Aa?” Spontan, Elio bahkan tidak sadar kalau suara itu keluar dari mulutnya. “Lio?” Yang disapa juga ikut kaget. “Kalian saling kenal?” Tanya Bunda, nampak terkejut. “I-iya tante” jawab Aarav. “Kok bisa?” “Kita satu kampus tante, oh satu SMA juga” jawab Elio.

Aarav pun mengambil tempat duduk dan melahap makanannya. Pembahasan pun berlanjut saat Ibu Aarav berusaha meninggi-ninggikan nama Abian, lebih seperti pamer padahal Abian juga biasa saja.

“Abian dari maba dulu udah ikut lomba debat internasional dan bisa bawa piala untuk kampusnya” Ibunya mulai membacakan riwayat hidup.

“Keren sekali” Sahur Aarav yang masih sibuk dengan makanannya. Abian terkekeh lalu menyenggol adilnya.

“Boleh dicontoh itu El, kamu harus perkuat bahasa Inggris nya, dan rajin-rajin buat ikut kursus public speaking“ “Oh tempat kursus yang aku kasih tau itu? Tempatnya Abian?”

“Iya, aku daftarin Elio disitu” “Bagus banget disitu, orang-oramg disitu jug sudah kenal Abian”

“Ibu, aku mau juga dong” Sahut Aarav. “Ngapain kamu ikut kursus begituan? Kata kamu di organisasi bisa”

Elio memutar bola matanya sedikit kesal. Ibu Aarav ini emang sedikit sinting, pikir Elio.

“Terus lagi, Abian ini pernah ikut MUN, dimana kak waktu itu? Malaysia ya?” “Iya” “Dia jadi best outstanding delegate dan bisa mengharumkan Indonesia. Aku bangga sekali pas Abian berfoto pake bendera Indonesia”

“kamu denger Itu, nanti belajar-belajar dari kak Abian” S'agit Bunda.

Aarav yang baru saja menyelesaikan makanannya melirik Elio sedikit. Elio benar-benar terdiam bagai robot yang disetel Bundanya dan hanya bisa bilang iya iya dan iya. Tidak bisa bilang tidak.

“Selagi duit Bunda masih bisa buat kamu belajar dan terus belajar, Bunda kasih. Demi masa depan biar kamu jadi orang sukses”

“Benar. Aku ini bahkan udah gak tau, sudah habis berapa demi sekolah anak-anakku bertiga. Kamu hanya punya satu, usahakan lebih dari anakku”

“Kalau belajar MUN begitu ada sekolahnya atau Abian belajar sendiri?” Tanya Bunda.

“Abian ini jurusan Hubungan Internasional jadi dikuliahnya diajarin begitu. Tapi kemaren itu dia sempat ikut kursus juga, bener kak?” Jelas Ayahnya.

“Iya namanya school of MUN, kalau mau bisa kontak saya, kebetulan sekarang saya juga sekali-sekali ngajar disana”

“Kalau privat ke Abian aja gimana?” Tawar Bunda. Mata Elio lagi-lagi membesar dan melirik Bundanya kaget. Lagi? Kursus lagi?

“Boleh banget, tante” ucap Abian.

“Bund..” lirih Elio. Bunda meliriknya yang kini sedang menggeleng, berusaha menolak halus.

“kenapa?”

“Nggak mau, Bund. Elio nggak minat ikut MUN”

“Gapapa kan diajarin nanti”

“Bareng gue nanti, Lio” sahur Aarav

“Emang kamu bisa?” Hal yang bikin Elio tambah pusing. Ya, itu suara Ibunya Aarav yang sedang meremehkan anaknya. Sedang Aarav hanya mengangkat bahunya cuek.

“Gak Bund, Elio nggak bisa” “Elio!” Bentak Bunda. “Capek Bund, kuliah, kursus, belum lagi tugas. Bunda mau Elio hancur?”

“Gak ada yang mau kamu hancur, Bunda mau yang terbaik buat Elio”

“Yang terbaik buat Elio itu, Elio yang paling ngerti, bukan Bunda”

“Elio!”

PLAK!!!!

Semua orang terdiam saat mendengar tamparan itu mendarat di pipi Elio. Elio terdiam, masih memroses keadaan. Dia, ditampar didepan banyak orang. Bukan soal sakitnya, tapi malunya. Apalagi ada Aarav, dia merasa terlihat sangat menyedihkan.

Tanpa berkata-kata, tanpa pamit, Elio pergi meninggalkan tempat itu.

211

“Lo cari tempat aja, nanti gue yang pesen. Lo mau pesen apa?” Tanya Lado saat mereka baru saja tiba di McD.

“hmm apa ya, mcflurry oreo sama kentang aja, masih kenyang ini.”

“Oh oke”

“oh iya, jangan lupa extra oreo” pinta Nesta yang kemudian membuat Lado terkekeh lalu mengangguk gemas dengan tingkah Nesta.

Keduanya pun berpisah, yang satu ngantri dan yang satunya naik ke lantai dua mencari tempat yang kosong dan kalau boleh ada stop kontaknya biar dia bisa nge-charge.


“Kerjain dulu papernya baru nyemil”

Faktanya sekarang, Nesta lebih banyak ngemilnya daripada mengerjakan paper nya. Alasannya hanya satu, dia tidak mengerti dengan materinya makanya dia ingin mendinginkan pikirannya dulu. Lado hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah Nesta.

Melihat Nesta yang serius ngemil, sesekali mencelupkan kentang gorengnya di mcflurry nya, Lado bergidik ngeri. Aturan dari mana yang membolehkan kentang goreng dicocol ice cream, Lado tidak tau.

“Dih, aneh banget Lo” komentar Lado spontan.

“Enak tauu, mau coba nggak?”

“Enggak, makasih” tolak Lado, lalu menggeser laptop Nesta, memposisikan laptop Nesta didepannya lalu mulai mengerjakan tugas Nesta. Nesta belum sadar kalau papernya sedang dikerjakan Lado.

“Lo harus coba ini enak banget, cepat!!” Ternyata Nesta masih belum mau kalah sampai sang kakak tingkat menyicipi resep kentang cocol ice cream itu.

“Enggak nih, Nesta” Lado menggeleng saat Nesta berusaha menyuapi Lado.

“Awas ini ice cream nya kena laptop lo lagi”

“Ihh cobain dulu makanya, sekali aja, please”

“Nggak minat beneran”

“Hissss gak seru lo”

Nesta langsung menarik kembali kentang yang dia sodorkan tadi dan dimakannya sendiri, habis itu dia tidak berkutik lagi karena sudah ngambek, sedangkan Lado sibuk menarikan jari-jarinya diatas keyboard laptop Nesta.

207

“Nesta!! Bangun!! Kelas lu anjir oii!!” Jeje mengetuk dan menggedor-gedor pintu kamar Nesta saat mendapati anaknya belum bangun juga sedang waktu tersisa setengah jam sebelum mata kuliah ilmu politiknya dimulai.

Lado sekarang sudah duduk dimeja makan bersama dengan kedua orang tua Nesta. Tadi disuruh sarapan bareng sama Ayah Nesta.

“Anjir berisik banget lu, je” Nesta yang bangun dengan rambut acak adul dengan mata sembab dan raut wajah kesalnya saat membuka pintu kamarnya kasar.

“Bangun! ini udah mau jam sembilan!” Kesal karena niat baiknya membangunkan adiknya tidak dihargai, nada bicara Jeje naik membuat adiknya itu tersadar dan langsung menutup kencang kamarnya bersiap untuk berangkat ke kampus.

“Banting aja itu pintunya! Banting lebih kenceng kalo bisa! Pintunya rusak, baru tau rasa!” Karena mendengar suara pintu kamar Nesta yang sangat kencang itu, Ibunya langsung mengomel dari lantai satu tepatnya diruang makan. Lado hanya bisa geleng-geleng kepala, kurang lebih disetiap rumah punya masalah yang sama.


Nesta berlari dengan rusuh menuju ruang makan dan seperti mobil yang melaju direm mendadak, Nesta pun seperti itu saat melihat kehadiran Lado yang tengah makan bersama keluarganya.

“Hah anjir ngapain lu disini?!” Nesta kaget bukan main.

“Makan sini, cepetan ntar lu telat” Lado langsung menarik tas Nesta yang kemudian Nesta ringan bagaikan kapas ikut terhuyung dan duduk dimeja makannya.

“Ini River katanya mau jemput kamu, tapi kamu malah keenakan tidur” Jelas Ibunya yang sudah mendengarkan cerita dari Lado tadi.

“Ibu kenal dia?” Tanya Nesta.

“Ya kenal lah, orang dia dulu tetangga kita, Ayahnya sama Ayah kamu sudah sahbatan lama” Jelas Ibu Nesta membuat mulut Nesta ternganga tidak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata.

“Lu kok gak cerita?” Nesta langsung menarik baju Jeje.

“Apasih anjir makan dulu, telat lu baru tau rasa”

Nesta pun dengan mulut memble nya akhirnya mengambil makan dan makan dengan perasaan campur aduk.

194

Sudah seminggu setelah lkmm dan tragedy di api unggun itu, Lado dan Nesta tidak banyak berkomunikasi. Isi chat mereka hanya tentang Lado mengirimkan referensi bacaan untuk tugas jurnal atau hanya informasi-informasi tentang kuliah, pokoknya hanya sebagai asdos dan mahasiswa, kating dan adting. Bahkan penilaian Lado di jurnal Nesta tidak seramai sebelumnya. Pokoknya mereka hanya berkomunikasi seadanya saja.

Seminggu ini Lado banyak berpikir dan sepertinya seminggu ini sudah cukup bagi Lado untuk memutuskan semuanya. Sebenarnya tidak begitu cukup, tapi setidaknya dia bisa memberikan kesimpulan tanpa ragu.

Lado juga sudah menceritakan semuanya kepada teman-temannya di warjok dan sudah mendapatkan beberapa masukan. Terutama dari Jeje yang sekarang bisa dibilang adalah orang yang paling tau Nesta dan isi keraguan Nesta. Dari cerita yang Jeje kasih dan petuah-petuah yang teman-temannya berikan dia mendapatkan semangatnya kembali.

“Dia terluka, Lad” ucap Jeje sambil menepuk pelan pundak Lado.

“mau sebesar apa luka itu, kalau orangnya nesta itu susah ” Tambah Jeje lagi.

“Percaya sama gue yang menjadi tempat cerita Nesta, gue jujur saja udah muak sama sifat Nesta yang denial. Gue malah kasian sama Yeyen yang nanti bakal beneran baper sam Nesta dan Nesta ngebuat dirinya jadi orang yang jahat disini. So, gue harap lo nggak nyerah dan bawa Nesta kembali ke akal sehatnya” Kata Hilmi yang saat itu juga ikut kumpul dengan mereka.


Malam itu Lado memutuskan untuk bertemu dengan Yeyen, entah darimana keberanian dia yang jelas dia sangat butuh ngomong dengan Yeyen. Untung saja Yeyen mengiyakan ajakan Lado dan mereka akhirnya mengatur waktu untuk bertemu dan sampailah mereka malam ini.

“Kayaknya lo udah tau ya, Yen , soal gue sama Nesta?” Ucap Lado tanpa basa-basi. Sambil menghisap rokoknya, menghembuskan asap yang mengepul diudara lalu dia kibaskan kea rah berlawanan karena sedang menghargai perempuan yang duduk didepannya karena takut Yeyen tidak bisa menghirup asap rokok.

Ya, sepertinya sudah banyak yang tau apalagi kejadian waktu LKMM yang bikin banyak orang udah tau kalau Lado lagi deketin Nesta. Jadi dia rasa tidak perlu basa-basi dan biar semuanya cepat clear. Sang lawan biacara hanya mengangguk pelan, seperti sedang was-was dengan Lado.

“Gue denger lo lagi deket sama Nesta, bener Yen?” Tanya Lado dengan suara yang lebih santai dan halus karena takut membuat Yeyen menciut. Jujur saja dia tidak pernah berbicara dengan cewek soal beginian makanya dia juga kadang takut sendiri jika dalam nada atau perkataannya bisa menyinggung sang lawan bicara. Apalagi dia dan Yeyen bisa dibilang tidak dekat.

“Lo bisa jujur ama gue, Yen. Gue bisa jaga rahasia, pokoknya cerita lo aman di gue. Tapi kalau lo rasa nggak bisa cerita ke gue yang stranger bagi lo, gue juga paham sih”

“Gapapa, gue certain ya biar jelas terus lo juga nggak kepikiran” Ada perasaan lega saat Lado mendengar itu dari Yeyen, memang benar selama ini dia overthinking soal Nesta dan Yeyen.

“Sebenarnya Nesta udah cerita sama gue, soal masa lalu dia, gue nggak bisa cerita ke lo yang soal ini biar dia yang cerita sendiri ke lo. Jujur, sebelum tau itu semua gue udah baper duluan ke Nesta tapi gue berusaha biar nggak baper kak karena dia teman gue yang udah temenan lama sama dia.

Tapi lama-lama gue nggak bisa tahan, Nesta selalu baik ke gue, perlakuan dia ke gue beda banget hingga pada akhirnya gue nyatain perasaan gue ke dia tapi gue ditolak. Jujur sakit sih haha, terus Nesta jelasin semuanya kalau sebenarnya dia mau berubah, dia ingin kembali buat suka cewek karena trauma dia, tapi tetap gak bisa apalagi pas ketemu lo, dia makin gak bisa. Dia sudah berushaa buat nggak suka sama lo makanya dia larinya ke gue”

Saat itu juga tangis Yeyen tumpah, Lado tidak tau harus bereaksi seperti apa, demi apapun sebenarnya dia lega tapi disisi lain dia juga terluka dengan cerita Yeyen, dengan Yeyen yang menangis didepannya, dia bisa merasakan luka itu.

“Maaf ya, Yeyen. Gue minta maaf atas Nesta yang udah bikin lo hancur begini”

“Gak kak, gue hancur karena ekspektasi gue sendiri. Padahal gue sendiri udah bilang nggak mau jatuh cinta sama sahabat gue sendiri”

“Gue harus gimana Yen? Jujur gue ini bingung banget. Nesta aja nggak pernah nunjukkin kalo dia juga tertarik ke gue”

“Pesan gue jangan nyerah aja sih, lo tau nggak sih gue sama Rania itu butuh waktu lama biar bisa jadi teman Nesta, tau. Dia terluka, jadi dia butuh seseorang yang nyembuhin lukanya. Gue nggak bisa, Rania dan Hilmi juga nggak bisa, Kak Jeje nggak bisa, semoga lo bisa asal lo nggak nyerah. Dengan lo yang terus deketin dia, bisa kelihatan kalau lo itu tulus, Kak”

Malam itu berakhir dengan Lado yang sudah mantap dengan keputusannya, berkat orang-orang sekitarnya. Lado bukan dokter dan juga bukan perawat, tapi dia ingin mengobati Nesta yang sedang terluka dengan cara dia sendiri.

Jangan lupa dengerin lagu SO7 – https://open.spotify.com/track/1nfOP7xNHeFSPOlziXswJc?si=c6812423398c4f51

Setelah menerima pesan dari Aarav ngirim yang ngasih tau kalau Aarav sudah sampai di basement apartemennya, Elio bergegas turun untuk menghampiri sang kakak tingkat itu, tidak ingin kakak tingkatnya menunggu lama.

Bohong kalau dibilang Elio tidak deg-degan. Kali ini dia sedang berlari bersamaan dengan jantungnya berdegup kencang seakan dirinya dan jantungnya sedang berlomba siapa yang akan sampai pada garis finish lebih dulu.

Tidak perlu menanyakan apa plat nomor mobil Aarav, pria itu sudah berdiri dan bersandar dimobil bmw series touring putih miliknya. Saat pandangan mereka bertemu, Aarav langsung melambaikan tangan mendapatkan perhatian Elio.

Tak sampai disitu, Aarav juga membukakan pintu untuk Elio, membuat sang adik tingkat itu tersenyum malu-malu. Pasalnya dia tidak pernah diperlakukan seperti ini.

Setelah selesai memakai seat belt-nya dan melihat yang lebih muda juga sudah selesai dengan urusannya, Aarav memberikan Elio satu kantung plastik indomaret yang dia ambi dari jok belakangnya.

“Ini sarapannya, dimakan sekarang aja”

Dahi Elio berkerut, dia tidak menyangka sang kakak tingkatnya ini akan repot-repot membelikan untuknya. Dengan ragu Elio pun mengambil kantung plastic itu, setelah itu Aarav langsung menarik pedal gas mobilnya hingga mobil itu berjalan meninggalkan basemen apartemen Elio.

Tak lupa menyalakan radio mobil yang kebetulan memutarkan lagu Hari Bersamanya milik Sheila On 7.

“Dimakan aja” Kata Aarav yang menengok sebentar kea rah Elio yang masih memegang kantung plastik itu lalu kembali fokus dengan kemudinya.

Sedetik kemudian Elio lalu membuka kantung plastic itu dan mengambil satu onigiri tuna mayo tidak pedas. Untung saja Aarav membelikannya yang tidak pedas walaupun tadi Elio tidak menjawab pertanyaan Aarav.

Tak lama tawa keluar dari mulut Aarav saat dia kembali melirik sedikit kearah Elio yang kini onigirinya sudah berantakan. Elio yang merasa sedang diketawain sama kakak tingkatnya itu langsung malu, mukanya merah seperti kepiting rebus.

Aarv menepikan mobilnya sebentar lalu membukakan onigiri Elio karena ternyata anak itu tidak bisa membuka onigiri dengan benar, kepekaan Aarav itu tambah bikin Elio malu dan rasanya dia ingin kabur sekarang. Pahanya penuh dengan sisa-sisa onigiri yang berjatuhan tadi.

“Nih udah, sekarang makan yang bener” Kata Aarav sambil memberikan onigiri yang sudah dia buka.

“M-makasih” Ucap Elio masih malu-malu

“Lo gak berubah ya ternyata”

“Berubah? Emang gue power rangers?”

“Hahhaha, Elio lo lucu banget sih”

“Lucuan mana gue sama shaun the sheep?” Tanya Elio sambil mengunyah onigirinya

Aarav menatap Elio bsedikit bingung lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala.

“Lucuan lo lah, Shaun the sheep mah mana ada lucu-lucunya” “Kalau gue sama snowball?” Tanya Elio lagi saat Aarav kembali menjalankan mobilnya.

Aarav masih berpikir sambil pandangannya masih focus ke jalanan namun sesekali melirik Elio yang sibuk dengan makanannya. Aarav tersenyum saat dia menemukan jawabannya.

“Snowball” Jawab Aarav.

“Betul‼ Snowball lucu banget, pengen gue gigit” Elio menceritakan dengan sangat excited sambil menggerakkan tangannya memberi gambaran bagaimana dia ingin sekali mengigit snowball dengan tangannya. Lagi-lagi Aarav dibuat ketawa dan gemas melihat tingkah Elio.

“Snowball nya kan lo, Lio” Saat mendengar gombalan itu Elio hanya tersenyum lalu memukul lengan kiri Aarav.

“Gombal jelek!”

“Aw! Beneran ini, lo kayak Snowball makanya gue bilang Snowball itu lucu, karena dipikiran gue snowball itu-“ belum selesai Aarav menyelesaikan perkataanya, Elio langsung menyuapinya dengan onigiri miliknya yang belum habis.

“Nih makan dulu, cerewet banget” Tanpa menolak, bibir Aarav pun terbuka dan ikut memakan onigiri Elio.

Pagi ini Aarav bahagia dibuat Elio. Dalam hatinya dia menyesali tekah mengiyakan permintaan Elio yang ingin putus darinya yang bahkan dia sendiri tidak tau pasti apa alasan Elio saat itu.

Kalau saja dulu gue bisa ngomong ‘tidak’, that’s sad.. Batin Aarav.

179

Hari terakhir LKMM ditutup dengan penampilan angkatan dan api unggun. Sebelumnya angkatan mereka sudah dikasih tau untuk tampil angkatan. Ide yang muncul dari Hilmi yaitu musikalisasi puisi tetapi musiknya dari paduan suara mereka.

“Puisi jangan lupa stand by pas masuk reff” Hilmi selaku koordinator mulai mengecek. Nisa, salah satu teman angkatan mereka yang ditugaskan untuk berpuisi ngacungin jempolnya, walau gelap Hilmi masih melihat kode itu.

Nesta mulai membuka dengan mengikuti pidato anak kecil di music video nya.

Think about the generations say we want to make it a better place for our children And our children's children so that they They, know it's a better world for them And think if they can make it a better place

Lalu mereka mulai bernyanyi,

There's a place in your heart And I know that it is love And this place it was brighter than tomorrow And if you really try You'll find there's no need to cry In this place you'll feel there's no hurt or sorrow

Pandangan Lado kini hanya berfokus kepada Nesta, dengan pikiran lain. Pikirannya kacau, Nesta jelas-jelas menolaknya.

Disebelah ada Tama yang merangkul Lado, mengajaknya ikut bernyanyi karena beberapa panitia juga ikut bernyanyi.

There are ways to get there If you care enough for the living Make a little space Make a better place

Awalnya para panitia dan senior alumni masih melihat performance itu biasa saja. Tetapi saat reff, mereka dibuat menganga.

Saat reff mulai dinyanyikan, tiba-tiba semuanya mengangkat botol tumblr mereka yang bermacam-macam warnanya, lalu dibawah botol itu disenter agar botol bisa menyala. Terlihat sangat indah jika dipandnag dan khidmat saat mereka bernyanyi

Heal the world Make it a better place For you and for me, and the entire human race There are people dying If you care enough for the living Make a better place for you and for me

Belum lagi dengan puisi campaign yang dibawakan Nisa membuat hati mereka tersentuh.

Penampilan itu dihadiahi tepuk tangan yang meriah dari penonton, bahkan katanya ada beberapa panitia dari jurusan lain ikut menonton dan bahkan terharu dengan penampilan mereka.

Lado tersenyum bangga melihat Nesta yang terlihat bahagia.


Acara itu ditutup dengan api unggun dimana semuanya melingkar dan duduk selang seling antara maba, panitia, senior alumni. Dan malam itu Nesta kedapatan duduk disebelah Lado.

Agenda api unggun kali ini beberapa maba ditunjuk untuk memberikan kesan dan pesan selama LKMM. Bukan hanya maba, para panitia juga diberikan kesempatan untuk berbicara.

“Menurut gue acaranya asik banget dan gue dapat banyak pelajaran. Yang paling menantang itu pas lo harus menerima materi pagi-pagi banget dan berkabut. Rasanya ingin tidur dibawah selimut aja. Pesannya, semoga acara seperti ini kedepannya lebih baik lagi” Itu suara Hilmi yang mengajukan dirinya sendiri untuk memberikan kesan dan pesan.

“Selanjutnya siapa nih panitia?”

Lado berdiri, semua mata seperti dikomando langsung tertuju kepada pria yang kini terlihat tinggi menjulang, dengan muka datarnya. Kecuali Nesta, yang duduk membeku disebelah Lado dan tidak berani bergerak sedikitpun.

“Hai, pertama-tama gue minta maaf banget sebagai ketua panitia gue nggak hadir dihari pertama karena gue ada tanding basket antar univ dan gue nggak bisa nolak banget. Gue minta maaf ke kahima gue Julian, wakil gue Mahesa dan teman-teman panitia sekalian.

Maaf kesannya gue nggak tanggungjawab banget, dan ya gue udah dihukum sama kak Tama disuruh jaga pos sendirian. Jujur agak ngeri. Dan buat teman-teman angkatan 18, selamat kalian udah resmi menjadi Keluarga Besar Hubungan Internasional, sudah resmi menjadi mahasiswa HI. Tetap semangat, jangan lupa ngejurnal!”

Kalimat terkahir membuat semua orang tertawa termasuk Nesta, lagi-lagi dia ngingetin jurnal. Terlalu mendalami perannya sebagai asisten dosen.

Setelah itu Nesta ditunjuk untuk memberikan kesan dan pesan. Awalnya Nesta menolak, katanya no comment karena jujur dia tidak menikmati acara ini kecuali penampilan angkatan tadi.

Nesta tidak suka dengan sistemnya yang harusnya latihan keterampilan manajemen mahasiswa menjadi latihan keterampilan menatar mahasiswa. Lado yang duduk disampingnya hanya melirik Nesta walaupun dirinya tidak dilirik balik. Setelah dipaksa akhirnya Nesta berdiri.

“Hai gue nesta, jujur gue nggak tau mau ngomong apa karena gue sebenarnya nggak terlalu menikmati acaranya ini”

Lado memejamkan matanya, dia yang khawatir kalau nanti pernyataan Nesta bikin banyak pihak tersudutkan.

No offense ya, you all did such a great job but, sorry to say gue rasa judul LKMM Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa nggak cocok buat acara ini. Kenapa nggak diganti jadi Latihan Keterampilan Menatar Mahasiswa. Uji materi? Bisa dengan focus grup discussion aja nggak usah pake jurit malam kaya anak pramuka. Gue sebenarnya nggak mau ngomong karena takut bikin sakit hati dan menyinggung, tapi kalian yang maksa gue ngomong. Pesannya, semoga di LKMM selanjutnya bisa lebih ditimbulkan aja sih unsur Keterampilan Manajemen Mahasiswa nya, makasih”

Bohong kalau dibilang Nesta nggak takut, bohong kalau dibilang Nesta nggak tremor, aslinya dia pengen pingsan lagi dan sudah siap dengan segala cacian seolah habis ini dia yakin semesta akan menghukumnya. Segala skenario sudah Nesta bayangkan tapi, skenario jahat dipikirin Nesta itu berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa dia mendapatkan tepuk tangan dari panitia.

Lado yang disampingnya lagi-lagi tidak berhenti tersenyum bangga. Dia lega akhirnya ada yang bisa menerima pendapat Nesta. Sedangkan keadaan Nesta sekarang? Dia masih was-was aja takutnya dia akan diserang belakangan.


Semua orang sudah balik ke tenda masing-masing, hanya tersisah Nesta dan api unggun kecil yang masih setia menghangatkan Nesta pagi ini, tepatnya pukul 4 pagi yang matahari masih malu-malu untuk terbit.

“Nesta..” suara berat tidak asing ditelinganya itu terdengar dari arah belakang, yang membuat Nesta otomatis menoleh mengikuti arah suara. Lado sedang berjalan mendekatinya.

“Lo belum tidur?”

Nesta hanya menggeleng. Lalu mendekatkan telapak tangannya ke arah api unggun bermaksud menghangatkan tangannya yang dingin.

“Lo keren” Dua kata dari Lado berhasil membuat Nesta merinding. Dalam hatinya dia berusaha untuk tidak termakan rayuan itu. Nesta hanya tersenyum sambil menggeleng kecil.

“Lebih keren lagi kalau lo jadi pacar gue”

DEG!!!

Aliran darah Nesta serasa mengalir deras, tulang-tulangnya lemas, tangannya berkeringat, jantungnya serasa berada di arena balapan.

Nggak sekarang River Orion Lado, batin Nesta.

Nesta memejamkan matanya tak mampu menatap Lado yang kini sedang menunggu tanggapannya.

Tiba-tiba tangan Nesta yang berkeringat dingin itu diraih oleh Lado.

“Dingin banget, padahal gue cuma latihan doang, siapa tau suatu saat nanti kata-kata itu bisa gue pake lagi” Lado tertawa kecil.

SIALAN

“Brengsek lo” Kata Nesta kesal.

“Kalau mau sekarang, tinggal gue ulang?”

“Jangan main-main sama gue” Kata Nesta lalu berdiri dan meninggalkan Lado yang diam tak berkutik.

“Padahal gue tadi udah tulus, tapi langsung gue ganti suananya haha.. susah banget lo Nesta” ucap Lado pelan sambil memperhatikan punggung Nesta yang berjalan menunju tendanya.

163

Setelah selesai jurit malam, Lado langsung bergegas menyusul ke tenda kesehatan untuk menjenguk Nesta. Tentu saja cowok april ini sangat khawatir dengan mabanya. Setelah mendapat informasi dari Tama bahwa Nesta belum makan dari semalam, rasa khawatir dalam dada Lado semakin memuncak dan dia merasa semakin bersalah.

Posisinya sebagai ados, sebagai kating, sebagai panitia yang berhasil membuat Nesta ambruk di posnya, dan sebagai sahabat kakaknya, Jeje. Lado merasa sangat bersalah atas Nesta dan gagal menjaga Nesta walaupun menjaga Nesta bukan suatu kewajibannya, atau mungkin suatu saat akan menjadi sesuatu yang harus.

Setelah sampai ditenda unit kesehatan, Lado mendapati Jeje dan Tama yang sedang berbicara menghibur Nesta. Perasaan Lado langsung melega saat dia bisa melihat senyum terukir di wajah Nesta.

“Ngapain lu disitu?” Suara berat milik Jeje mengagetkan Lado, alhasil pria itu tersadar dan melangkah pelan mendekati Nesta.

“Ini nih biang keroknya” Ejek Tama. Lado yang tidak tau harus bereaksi apa-apa hanya bisa menggaruk kepalanya yang bahkan tidak gatal, menyalurkan rasa sedikit takut.

“yaudah Nesta, gue balik dulu” Kata Jeje membuat mata Nesta terbelalak.

“Kok balik?” Tanya Nesta

“Gantian dulu, ini ada yang mau jenguk lo juga” Kata Jeje sedikit mengejek, membuat Tama tertawa kecil sedangkan yang dimaksud sedang salah tingkah. Nesta yang juga malu-malu tidak membantah lagi.

“Dah sana jagain adek gue, awas lo berani macam-macam” Kata Jeje sambil menepuk pundak Lado. Lado pun m mengangguk pertanda siap akan menjalankan perintah. Tama yang mengekor dibelakang Jeje lalu juga ikut menepuk pundak Lado menyalurkan support untuk Lado.


Kini Lado sedang duduk dikursi tempat Jeje tadi, disebelah tempat tidur Nesta. Keduanya masih saling diam hingga akhirnya Lado yang memulai dengan meminta maaf.

“Maaf ya, nesta” tiga kata itu mampu membuat Nesta merinding. Tatapan yang Lado berikan begitu tulus sampai-sampai Nesta tidak kuat dan langsung mengalihkan pandangannya, membuang muka karena sudah kepalang malu. Namun Nesta tetaplah Nesta yang dalam hati masih mengomel.

Maaf maaf aja lo anjir, gua gak kuat ini. Tolong jangan robohin benteng pertahanan gua. Kira-kira begitulah celoteh Nesta dalam hatinya.

“Kalau diajak omong itu, diliatin dong orangnya”

Mendengar ucapan dari Lado, Nesta malah tidak menggubris dan bahkan tidak melakukan perintah. Alhasil lado menarik dagu Nesta hingga wajah Nesta kini menghadap padanya. Nesta tidak menolak, tidak menepis tangan Lado, tidak memberontak, karena dia sedang sedang membeku.

“Gue dimaafin gak?” Tanya Lado menatap manik coklat yang adik tingkat itu lekat-lekat. Nesta mengangguk pelan membuat senyum manis terukir dibibir Lado, senyum itu membuat Nesta tidak bisa menemukan manik mata Lado. Hanya ada garisan yang terukir dimatanya.

Indah banget bantin Nesta tanpa sadar dia sudah menatap Lado lekat-lekat, dan cukup lama.

“Udah kali ngeliatin guenya”

Nesta langsung tersadar dan membalikkan badanya sangking malunya. Lado tertawa geli melihat Nesta yang salah tingkah.

“Udah sana balik lo, gue mau istirahat. Jam besuknya udah habis” Kata Nesta masih mebelakangi Lado. Lado tidak berbohong saat dia mengatakan kalau Nesta terlihat lebih menggemaskan kalau dia lagi marah-marah seperti ini.

“Bentar dulu” Lado meletakkan tangannya du pundak Nesta lalu membawa badan Nesta kembali ke posisi sebelumnya, yang lagi-lagi berhasil membuat Nesta kaget.

“Lo kenapa semalam gak makan?” Tanya Lado mengintrogasi.

“Makan kok” Jawab Nesta sambil membuang muka menatap langit-langit tenda.

“Jangan bohong, kata Tama lo belum makan, dan lo punya magh”

Buset tauan aja Celetuk Nesta dalam hati.

“hmm, lagi nggak laper”

“nggak laper atau permen lo nggak cukup sepuluh?”

Nesta tidak menjawab karena memang benar, permennya tidak cukup dan dia sudah malas dengan tingkah panitia yang banyak mau dan suka banget memberikan hukuman dengan embel-embel 'diplomasi' atau 'negosiasi'.

“Maaf ya, nesta. Harusnya gue udah ada pas di game itu dan bisa ngasih lo banyak permen”

Pernyataan yang baru saja keluar dari mulut Lado itu berhasil membuat Nesta melayang dilangit malam tanpa awan, namun bersama bintang-bintang.

“Kalau ada gue, pasti lo gue kasih dua puluh biar lo bisa nambah”

Bukan hanya melayang bersama bintang-bintang, dia sekarang sudah bisa berbaring diatas bulan. Nesta ingin terus begini dan tidak ingin jatuh diantara duri-duri.

“Lain kali deh”

“Hah? Berarti bakal ada yang beginian lagi?”

“Enggak ding haha”

Nesta bisa bernafas lega, dia pikir bakal ada LKMM lagi. Bisa gila nanti dia. Jujur saja, Nesta tidak menyukai hal seperti ini, dia tidak suka dimarah-marah dengan alasan yang tidak jelas.

“Tapi mau kesini lagi nggak?” Tanya Lado.

“Eh?”

“Lo tadi nggak sampai puncak ya bareng teman-teman lo?”

“Emang mereka ke puncak?”

“Tadi kan pos terkahir dipuncak”

“Ih curang banget deh, pasti nanti si Hilmi bakal pamer nih”

“Yaudah nanti kesini lagi bareng gue mau nggak?”

Kalau bisa menghilang, Nesta ingin menghilang diantara bintang-bintang malam ini. Lado sukses membuat dia bungkam dan salah tingkah.

“Gue ngantuk banget mau tidur”

Nesta langsung mengangkat selimutnya menutupi wajahnya. Lado lagi-lagi tersenyum gemas melihat tingkah Nesta.

“Selamat tidur Nesta” ucap Lado sambil mengelus puncak kepala Nesta.

Sedangkan dibalik selimut, muka Nesta udah merah padam seperti tomat.