Amaraloka
Di sepanjang jalan yang membentang, diluasnya samudera yang terkapar, di hamparan konstelasi bintang yang menghiasi langit malam, dan dibawah terangnya rembulan, Elio menyimpan lekat-lekat cita-citanya yang begitu besar untuk ia capai.
Aarav menatap sang adik tingkat yang sedang memejamkan matanya dengan nafas yang tenang dan teratur. Wajah yang terlihat lelah dan capek itu bisa Aarav lihat, seolah dengan satu kesimpulan mengatakan bahwa ada banyak sekali hal yang tidak Elio bagikan kepada siapapun dan dipendamnya sendiri. Dia sudah cukup lelah berjuang sendiri.
Deru nafas yang terdengar kencang dan sandaran punggungnya yang begitu nyaman dibangku kemudi seolah menggambarkan kehidupan Elio yang penuh tekanan tanpa henti. Sedari tadi sejak Elio meminta untuk mengehentikan mobil sejenak hingga ia terlelap, perasaan Aarav masih sama. Bukan iba, bukan kasian, bukan sendu, yang ia rasakan dan ia inginkan adalah, menjaga Elio dan membahagiakan Elio semampunya dengan dama.
Setelah cerita panjang Elio tentang bagaimana Bundanya merawatnya dengan penuh tekanan, bagaimana Bundanya hanya memikirkan masa depan hingga masa sekarang Elio dibutakan oleh beban— membuat Aarav tersadar, sesungguhnya tidak ada yang namanya “lebih baik”.
Sama saja, Aarav terkadang ingin seperti kakak dan adiknya yang diperhatikan, dia ingin pintar dan masuk les sana sini, disisi lain ada Elio yang ingin bebas sepertinya. Semua anak punya struggle masing-masing entah itu anak tunggal, anak pertama, anak kedua, ataupun anak ketiga dan seterusnya. Semua dituntut dengan porsinya masing-masing dari sudut pandang orang tua yang tentunya berbeda-beda.
Dengan pelan, Aarav memberanikan diri mengusap kepala Elio. Rambutnya yang halus dan licin itu sangat terasa ditelapak tangan Aarav, membutnya tidak ingin berhenti hingga berakhir dengan tangan nakal Aarav yang mengacak-acak rambut Elio. Walaupun setelahnya dia perbaiki lagi. Damai. Dia suka suasana ini, dengan musik Sunset Bird milik Yiruma yang terputar.
Tak lama tepat setelah musik itu berhenti dan tangan Aarav sudah turun dari kepala Elio, mata yang terpejam beberapa saat tadi kini terbuka pelan. Dia edarkan pandangannya yang masih sedikit buram itu keseluruh mobil Aarav hingga mendapati sosok yang dia cari sedang menatapnya dari samping dengan senyum yang hangat.
“udahan tidurnya?” Tanya Aarav. Dengan mata yang masih sayu, Elio mengangguk.
“mau pulang sekarang?” Tanya Aarav membuat Elio langsung terdasar dan mengecek layar ponselnya.
Sudah menunjukan pukul dua belas malam tentu saja dengan puluhan panggilan tidak terjawab dan pesan yang masuk dari Bundanya namun sengaja tidak ia hiraukan.
“sebentar Aa, gue mau ngomong” ucap Elio menahan tangan Aarav yang bahkan tidak bergerak sedari tadi.
Aarav yang melihat tingkah itu tersenyum, lalu memgangguk dan menghadapkan posisinya kearah Elio.
“Aa, tadi kan gue sudah cerita semua keluh kesah gue tentang Bunda dan bahkan lo liat sendiri tadi bagaimana bunda se-strict itu ke gue. Mungkin lo bertanya-tanya dan bahkan bukan cuma lo, teman-teman lo dan teman-teman gue juga pasti bertanya-tanya kenapa kita cuma bisa bertahan sehari waktu itu.
Jujur, gue sebenarnya nggak sanggup buat mutusin lo saat itu, sakit banget tapi gue harus. Lo inget kan, gue mutusin lo saat pas kapan? Ya, itu saat nilai raport gue turun, pas itu Bunda langsung marah besar, gue ranking 2 dan sebenarnya itu bukan salah, bukan salah siapa-siapa ranking gue turun, itu salah gue sendiri karena udah malas dan capek belajar-“
“Lio, calm down, pelan-pelan aja. Gue masih disini, masih mau dengar penjelasan lo entah sepanjang apa alasan lo”
Elio mengatur nafasnya lalu mengangguk. “Ya intinya gue dimarahin habis-habisan dan jam les gue nambah, waktu belajar gue nambah, bahkan Bunda rela nggak balik Singapura seminggu hanya buat mantau gue. Jadi malam itu juga gue mutusin lo, karena pikiran gue kacau, gue takut nggak ada waktu buat lo.”
Saat melihat bibir Elio yang sudah bergetar dan mata yang berkaca-kaca, Aarav tidak tahan untuk tidak memeluknya. Dibawanya tubuh mungil Elio kedalam tubuh besarnya dan mendekapnya erat-erat. Dia elusnya rambut halus Elio yang menjadi kesukaannya sekarang lalu Aarav memberanikan diri mengecup kepala Elio.
Lagi dan lagi, Elio tidak bisa menahan tangisnya. Bukan karena dia cengeng, karena dia tidak pernah mendapatkan pelukan sehangat ini. Dia tidak permah diperhatikan selembut ini. Dia tidak penah merasa dicintai setulus ini.
“Elio, I’m not going anywhere, I’m still here waiting for you, for years” Bisik Aarav dengan puk-pukan kecil dikepala Elio.