malam yang pekat

Malam itu Elio melangkahkan pijakannya ragu mendekati seseorang yang sudah tidak asing baginya, ya itu adalah ibunya yang sudah berbulan-bulan tidak bertemu dengannya- yang dia rindukan dan dia takutkan.

Perasaanya tidak karuan membuat kepalanya menciptakan berbagai macam skenario sehingga membuat sang anak adam tersebut semakin ragu menemui pijakan selanjutnya. Saat manik cokelatnya bertemu dengan manik coklat turunannya, Elio menyambut senyuman hangat Bundanya yang dia balas dengan senyum hangat juga sambil sedikit demi sedikit menambah langkahnya.

Sang Bunda sudah melambaikan tangannya dan tak sabar memeluk dan menggapai surai anak semata wayangnya itu. Baying-bayang terpatri didepam Elio.

Dibelakang Bundanya, ada sepasang suami istri dan dua anak laki-laki yang dia tebak adalah anak dari suami istri yang merupakan teman dari Bundanya itu. Yang satu sudah terlihat lebih tua daei Elio dan yang satu lagi lebih muda dari Elio. Elio tebak mereka adalah orag-orang yang sudah siap dis banding-bandingkan dengan Elio lagi. Malang sekali pertemuan malam ini. Wahai rembulan, Elio ingin dijemput sebentar bertemu gemintang untuk merasakan indahnya malam ini, tidak ingin menghadapi luka yang sebentar lagi bertumpu dalam dirinya.

“Ini anakku, Elio” Bundanya membawa Elio kedalam dekapannya, dengan nada bangga mengenalkan kepada temannya dan orang-orang sekitar.

“Halo tante, om, Elio” Elio mengulurkan tangannya sopan lalu bersalaman menyapa ramah kerabat Bundanya.

“Elio kenalin ini anak tante, yang tua ini namanya Abian dan yang kecil ini namanya Aciel”

“Halo kak Abian, halo Aciel” Elio masih bersikap ramah dan sopan melambai kecil kearah mereka. Kedua yang disapa Elio tersenyum lalu melambai kecil juga.

Obrolan mereka terhenti saat makanan semua sudah siap dihidangkan dan mereka kembali ke tempat duduk dengan menyantap makan malam. Sesuai dugaan, makan malam itu tidak khidmat kalau mereka tidak saling pamer prestasi.

“Abian ini waktu seumuran Elio sudah ikut banyak olimpiade dan juga debat dikampusnya dan dibanggakan kampus” Sahut Ibu Abian.

“Oh ya? Kamu harus belajar banyak dari Abian, Tanya-tanya tuh info-info lomba. Udah tukeran kontak belum?”

“Tukeran kontak nanti aja Bunda, makan dulu” Sahut Elio.

Makan malam itu berjalan dengan lancar dan sesuai ekspektasi Elio, ya tentu saja dirinya habis dibabat dengan segala prestasi Abian dan bahkan Aciel.

“Anak kamu ini cuma berdua? Bukannya ada satu lagi?” Tanya Bunda kepada kerabatnya Itu.

“Iya satu lagi tapi katanya anaknya sibuk. Anak itu juga tidak banyak prestasi, yang dia pikirin cuma organisasi aja, tidak ada yang bisa dibanggakan”

“Ibu..” Tenyata Abian masih punya hati, masih menegur Ibunya yang menurut Elio jahat ini.

“Anaknya kok gak diajak?” Tanya Bunda lagi.

“Datang tapi katanya telat. Haduh, malu-maluin aja kan?” “Enggak kok tante, kan semua orang punya urusan masing-masing” Sahut Elio karena sudah geram.

“Urusan apa, dia kerjaannya main terus” Sahut suaminya. Elio hanya bisa geleng-geleng kepala dengan keluarga ini.

Tidak bisa Elio bayangkan jika dia tinggal bersama keluarga ini. Dia bersyukur setidaknya Bundanya sedikit lebih baik.

“Selamat malam, maaf terlambat”

Elio langsung menengok saat mendengar suara itu. Suara yang tidak asing baginya. Lantas matanya terbelalak mendapati sosok pria yang sangat dia kenali.

“Aa?” Spontan, Elio bahkan tidak sadar kalau suara itu keluar dari mulutnya. “Lio?” Yang disapa juga ikut kaget. “Kalian saling kenal?” Tanya Bunda, nampak terkejut. “I-iya tante” jawab Aarav. “Kok bisa?” “Kita satu kampus tante, oh satu SMA juga” jawab Elio.

Aarav pun mengambil tempat duduk dan melahap makanannya. Pembahasan pun berlanjut saat Ibu Aarav berusaha meninggi-ninggikan nama Abian, lebih seperti pamer padahal Abian juga biasa saja.

“Abian dari maba dulu udah ikut lomba debat internasional dan bisa bawa piala untuk kampusnya” Ibunya mulai membacakan riwayat hidup.

“Keren sekali” Sahur Aarav yang masih sibuk dengan makanannya. Abian terkekeh lalu menyenggol adilnya.

“Boleh dicontoh itu El, kamu harus perkuat bahasa Inggris nya, dan rajin-rajin buat ikut kursus public speaking“ “Oh tempat kursus yang aku kasih tau itu? Tempatnya Abian?”

“Iya, aku daftarin Elio disitu” “Bagus banget disitu, orang-oramg disitu jug sudah kenal Abian”

“Ibu, aku mau juga dong” Sahut Aarav. “Ngapain kamu ikut kursus begituan? Kata kamu di organisasi bisa”

Elio memutar bola matanya sedikit kesal. Ibu Aarav ini emang sedikit sinting, pikir Elio.

“Terus lagi, Abian ini pernah ikut MUN, dimana kak waktu itu? Malaysia ya?” “Iya” “Dia jadi best outstanding delegate dan bisa mengharumkan Indonesia. Aku bangga sekali pas Abian berfoto pake bendera Indonesia”

“kamu denger Itu, nanti belajar-belajar dari kak Abian” S'agit Bunda.

Aarav yang baru saja menyelesaikan makanannya melirik Elio sedikit. Elio benar-benar terdiam bagai robot yang disetel Bundanya dan hanya bisa bilang iya iya dan iya. Tidak bisa bilang tidak.

“Selagi duit Bunda masih bisa buat kamu belajar dan terus belajar, Bunda kasih. Demi masa depan biar kamu jadi orang sukses”

“Benar. Aku ini bahkan udah gak tau, sudah habis berapa demi sekolah anak-anakku bertiga. Kamu hanya punya satu, usahakan lebih dari anakku”

“Kalau belajar MUN begitu ada sekolahnya atau Abian belajar sendiri?” Tanya Bunda.

“Abian ini jurusan Hubungan Internasional jadi dikuliahnya diajarin begitu. Tapi kemaren itu dia sempat ikut kursus juga, bener kak?” Jelas Ayahnya.

“Iya namanya school of MUN, kalau mau bisa kontak saya, kebetulan sekarang saya juga sekali-sekali ngajar disana”

“Kalau privat ke Abian aja gimana?” Tawar Bunda. Mata Elio lagi-lagi membesar dan melirik Bundanya kaget. Lagi? Kursus lagi?

“Boleh banget, tante” ucap Abian.

“Bund..” lirih Elio. Bunda meliriknya yang kini sedang menggeleng, berusaha menolak halus.

“kenapa?”

“Nggak mau, Bund. Elio nggak minat ikut MUN”

“Gapapa kan diajarin nanti”

“Bareng gue nanti, Lio” sahur Aarav

“Emang kamu bisa?” Hal yang bikin Elio tambah pusing. Ya, itu suara Ibunya Aarav yang sedang meremehkan anaknya. Sedang Aarav hanya mengangkat bahunya cuek.

“Gak Bund, Elio nggak bisa” “Elio!” Bentak Bunda. “Capek Bund, kuliah, kursus, belum lagi tugas. Bunda mau Elio hancur?”

“Gak ada yang mau kamu hancur, Bunda mau yang terbaik buat Elio”

“Yang terbaik buat Elio itu, Elio yang paling ngerti, bukan Bunda”

“Elio!”

PLAK!!!!

Semua orang terdiam saat mendengar tamparan itu mendarat di pipi Elio. Elio terdiam, masih memroses keadaan. Dia, ditampar didepan banyak orang. Bukan soal sakitnya, tapi malunya. Apalagi ada Aarav, dia merasa terlihat sangat menyedihkan.

Tanpa berkata-kata, tanpa pamit, Elio pergi meninggalkan tempat itu.