Tentang Nesta dan Ejej

092

“Lo pesen aja, gua tunggu diatas” kata Jeje saat mereka baru saja masuk kedalam mcd yang sudah sepi itu.

“Lo mau apa?” Tanya Nesta berniat memesankan untuk kakaknya sekalian.

“Ngga msih kenyang, lo aja” tolak Jeje. Nesta kemudian memberikan kedua tangannya dengan keadaan terbuka. Jeje mendengus kesal. Ya, Nesta sedang memalak Jeje padahal dia yang mengajak ke mcd. Untung saja Jeje bawa dompet, dia lalu mengambil uang lima puluh ribu dan memberikan kepada Nesta. Nesta tersenyum puas lalu segera mendekati kasir, Jeje pun segera naik ke lantai dua.

Jeje ingin menikmati udara malam jadi dia nemilih tempat duduk outdoor. Ya, sangat sepi hanya ada dia disana. Dia membuka bungkus rokok Marlboro nya, mengambil satu batang yang dia apitkan antara bibirnya lalu menyalakan pemantik, membakar sigaretnya itu.

Tak butuh waktu yang lama untuk Nesta akhirnya memunculkan batang hidungnya didepan Jeje dengan nampan berisi mcflurry dan kentang goreng kesukaanya. Nesta berdecak kesal saat sudah dari kejauhan dia melihat asap mengepul diudara.

“Lo tuh masih ngerokok?!” Tanya Nesta sembari menaruh nampannya dimeja lalu menarik kursi untuk dia duduki.

“Jarang ini” Jawab Jaehyun.

“Lo mau ngomong apa?” Tanya Nesta mengingat tujuan mereka kesini yaitu untuk membicarakan sesuatu.

Jeje menarik kursinya kedepan lebih dekat dari meja. Melihat adiknya yang tidak nyaman dengan asap rokok itu, dia menancapkan ujung rokok yang masih terbakar itu dinampan cokelat didepannya yang sudah kosong lalu memutar-mutar rokoknya sampai api itu mati. Nesta hanya geleng-geleng melihat tingkah sang kakak karena menjadika nampan mcd sebagai asbak.

“Gua mau jujur ini, asal lo jangan kaget” kata Jeje, sepertinya Nesta sudah tahu kemana topik pembicaraan mereka. Nesta kemudian mengangguk santai sambil memakan mcflurry nya. Dari luar santai padahal dia sedang deg-degan sekarang.

“Lo bisa marah ke gua, bisa nampak gua, bisa tonjok gua asal lo jangan jauhin gua dan jangan jijik ke gua”

Gak Ejej, gak akan. Gua akan selalu ada disisi lo karena kita sama.

“Nesta, I'm gay, your brother is gay” Nesta bis mendengar suara kakaknya yang bergetar hebat.

Walaupun Nesta sudah menduga-duga tetapi tetap saja dia masih kaget ditambah lagi statement itu keluar dari mulut kakaknya sendiri didepannya langsung.

Jeje mengacak rambutnya tidak karuan lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya berkali-kali. Nesta masih terdiam, mata Jeje sudah berkaca-kaca.

“Nssta ngomong jangan diam aja dong!” Jeje mengguncang-guncangkan meja mereka tak sabar mendengar pendapat Nesta.

“S-sejak kapan?” Itu yang keluar dari bibir Nesta.

“Sejak SMA”

“Tapi lo, bukannya gonta-ganti pacar?”

“Enggak, gua gak sebenarnya cinta. Gua cuma mencari validasi atas perasaan gua sendiri. Gua mencoba buat pacaran sama beberapa cewek cuma buat ngertiin perasaan gua sendiri. Iya, gua jahat banget. Awalnya juga gua gak tega ke mereka, tapi gua harus karena sebelumnya gua gak bisa menerima kenyataan kalo gua gay

Nesta terdiam lagi. Bukankah itu yang sedang dia lakukan sekarang juga? Berarti dia jahat banget?

“Terus kenapa? Kenapa dirumah you act like you're a homophobic?”

Ini gua juga. Nyatanya kita sama, sama-sama brengsek

“Gua ngelakuin itu semua karena gua membaca situasi rumah. Gua lihat ayah dan ibu seperti tidak suka. Jadi gua pura-pura, gua ikut alurnya, walaupun gua harus menahan sakit. Gua takut gak diterima sama ayah ibu, gua gak mau ngecewain mereka yang udah tulus dan sayang banget sama gua”

Saat itu juga tangis mereka berdua pecah. Keduanya memang sangat sensitif jika sudah membahas orang tua mereka apalagi ditambah dengan kasus sekarang. Jeje membiarkan air matanya keluar begitu saja sedangkan Nesta yang tak sanggup membendung air matanya, menutup mukanya dengan telapak tangannya.

“Gua capek bertahan sendirian, gua capek mendam ini sendirian, gua capek Nesta makanya gua ajak lo ke warjok biar lo pelan-pelan tahu tentang gua dan ternyata lo juga nggak suka dengan kaum gua. Gua minta maaf kalo gua salah. Walaupun gua sedikit kesal ke lo tapi lo satu-satunya harapan gua dikeluarga kita yang mau untuk pelan-pelan nerima gua”

Tangisan Nesta langsung pecah, dia merasa sangat bersalah, dia sakit hati, pokoknya perasaannya campur aduk. Ditambah lagi dia teringat dengan wisata masa lalunya yang bikin dia hancur sampai sekarang.

Nesta beranjak dari kursinya, dia berjongkok dibawah Jeje, Jeje sedikit mengubah posisi kursinya. Kini Nesta sudah menenggelamkan kepalanya di paha Jeje, dia menangis sekeras mungkin membuat Jeje sedikit kebingungan.

“Maafin gua ejej, gua tau, gua paham apa yang lo rasain. Gua tau gimana rasanya menahan itu sendirian, gua pernah alami dan bersyukur masih ada teman-teman lo yang mau menerima lo. Maaf udah bikin lo sakit hati dengan omongan gua yang waktu di warjok. Ejej gua minta maaf, gua sebenarnya juga sama kayak lo”

Mata Jeje yang sudah sembab itu membesar. Dia lalu mengangkat adeknya untuk berdiri. Jeje menarik kursi disebelahnya lalu menyuruh Nesta untuk duduk. Kini mereka sudah duduk bersampingan.

“Nesta lo ngomong apa tadi?”

“Ejej hikss.. gua.. gua juga gay

Jeje langsung memeluk adiknya itu erat-erat. Ya setidaknya dia sedikit lega karena adiknya sebagai harapan satu-satunya berada dipihaknya. Jeje merasa lebih tenang karena tidak ada lagi pertarungan dalam dirinya sendiri, dia tidak bertarung sendirian menghadapi orang tuanya.

“Sejak kapan?” Tanya Jeje saat Nesta sudah mulai tenang dari tangisnya.

“SMA” jawab Nesta.

“Terus?”

“Dulu gua suka sama kakel, gara-gara kita kerja bareng di osis, jadi kita kemana-mana bareng, kita udah dekat banget sampai akhirnya perasaan itu tumbuh. Tapi ternyata dia nggak suka sama gua, he's normal, dia kecewa banget sama gua, dia jijik, dia marah besar, gua ditonjok pas gua nyatain perasaan gua...” Nesta tidak sanggup melanjutkan ceritanya. Jeje kembali memeluk adiknya itu yang kembali menangis dipundaknya.

“Sakit, sakit banget kalo di ingat lagi* batin Nesta.

“Udah gak usah diterusin kalo lo nggak sanggup”

“Dia hina-hina gua, dia bilang kalo orang kayak gua gak bakal diterima, dia bilang kalo orang kayak gua itu penyakit, dia bilang kalo orang kayak gua menyimpang, penuh dosa”

“Nesta!! Udah!! Gak usah dilanjutin!!” Kini suara Jeje meninggi. Dia tidak ingin mendengarnya, rasanya sakit disaat adiknya dihina tetapi dia tidak tau apa-apa.

“Untung saja ada Hilmi, Yeyen dan Rania yang bisa menerima gua. Gua gapapa cuma punya sedikit teman asalkan mereka bisa mendukung pilihan gua” kata Nesta sambil melepaskan pelukannya.

“Jadi lo minta gua buat nyariin lo cewek itu alasanya sama aja kayak gua?”

“Saat kejadian itu gua mikir keras dan gua ingin berubah. Sejak saat itu gua terus memaksa diri gua buat suka cewek, gua pikir saat kuliah ini bisa merubah gua. Gua ingin menghianati diri gua sendiri. Tetapi tetap saja gak bisa”

Jeje mengangguk. “Sekarang gapapa Nesta. Lo punya gua, dan gua punya lo. Gua harap kita bisa saling terbuka untuk hal ini” Nesta mengangguk.

“Terus gimana? Lo ada rencana mau jujur ke ayah ibu nggak?” Tanya Nesta.

“Nggak tau, belum kepikiran juga. Tapi pada saatnya juga ayah ibu akan tau”

“Mereka bakal kecewa nggak ya ke kita?”

“Nggak usah mikirin itu Nesta. Jalanin aja dulu, soal meyakinkan mereka itu kita pikirin lagi nanti”

“Hmm, iya deh. Sukses deh buat lo dan kak Tama”

“Lo udah tau?”

“Ya feeling aja”

“Mau gua kenalin gak?”

“Boleh”

“Ke warjok tapi”

“Jujur, gua sekarang takut ke warjok”

“Hah? Kenapa?” Jeje terkekeh mendengar pernyataan adiknya itu.

“Ya gara-gara itu bercandaan gua. Gua takut teman-teman lo tersinggung”

“Hahah mereka mah santai”

“Ejej gua boleh tanya gak?”

“Apasih lo pake izin-izin segala”

“Teman-teman lo, mereka juga?”

“Oh hahah iya, sebenarnya pas gua bilang diwarjok banyak cewek itu bohong sih, gua akting aja didepan ayah ibu”

“Sialan lo” Nesta mendorong Jeje, hampir saja Jeje jatuh dari kursinya.

“Emang gak kelihatan?”

“Apanya?”

“Temen gua?”

“Ya kan baru ketemu masa bisa langsung tau sih”

“Wah kurang berarti pendekatannya, yaudah besok main ke warjok. Ajak tuh anakan lo”

“Ihh udah gua bilangin kok mereka santai”

“Bilangin mereka dong gua minta maaf”

“Iya nanti gua bilang”

Setelah itu mereka kembali bercanda-bercandaan bahkan saling mengejek satu sama lain. Anak-anak bujang Om Agung dan Tante Yuna kini akrab kembali tanpa ada rahasia setitik pun diantara mereka. Kini mereka punya satu sama lain untuk berjuang bersama melawan dunia.